Comfort 🌸 | Sustainable 🌏 | Healthy ✅ | We Ship Worldwide 💜
Laut, Perempuan, dan Lingkungan: Sebuah Cerita dari Pangandaran

Laut, Perempuan, dan Lingkungan: Sebuah Cerita dari Pangandaran

Oleh: Tungga Dewi

Masih ingat lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut"? Lagu ciptaan Ibu Sud tersebut menggambarkan kedekatan leluhur kita dengan kehidupan maritim. Laut memang sangat erat dengan Indonesia karena dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Mungkin, itulah mengapa leluhur ktia menyebut Indonesia sebagai “tanah air” dan juga Nusantara yang berasal dari kata “nusa” (pulau) dan “antara” (celah). 

Berbicara laut, tanggal 8 Desember 2023, saya berkunjung ke salah satu wilayah laut yang paling penting di Jawa Barat, yaitu Pangandaran. Memiliki populasi sebanyak 427.164, Kabupaten Pangandaran terkenal sebagai salah satu destinasi wisata. Kunjungan saya ke Pangandaran kali ini bukan untuk wisata, namun untuk belajar mengenai kehidupan nelayan, khususnya nelayan perempuan. 

Kapal di Pangandaran dan Foto bersama Pilot Susi Air

Nelayan Perempuan, Kontribusi yang Sering Dilupakan

Mengingat lagu nenek moyang pelaut, terbersit sebuah hipotesa dalam benak saya bahwa perempuan memiliki jasa penting dalam dunia kelautan yang sering terlupakan. Dalam perusahan sosial yang saya dirikan, Perfect Fit, kami memiliki misi untuk mendukung seluruh perempuan mencapai potensi penuh dirinya. Kami memiliki komitmen untuk memberantas kemiskinan menstruasi (period poverty) di Indonesia dengan memberikan akses edukasi menstruasi dan produk menstruasi ramah lingkungan secara gratis dari hasil penjualan Perfect Fit. Dalam kesempatan ini, kami bersyukur bisa bekerja sama dengan Pandu Laut Nusantara, sebuah yayasan yang didirikan oleh mantan Menteri Kelautan & Perikanan Indonesia, Ibu Susi Pudjiastuti, untuk menjaga kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan para nelayan dan laut Indonesia.

Pandu Laut dijalankan oleh beberapa anak muda Indonesia yang pintar dan memiliki semangat besar untuk menjaga laut Indonesia. Ketika saya berdiskusi dengan mereka, saya mendapatkan konfirmasi bahwa hipotesa yang ada di benak saya adalah benar. Bahwa perempuan memiliki peran penting dalam dunia kelautan, termasuk sebagai nelayan. Ketika berpikir nelayan, gambaran dikepala kita adalah laki-laki dan kapal. Namun dunia kelautan dan nelayan ternyata cukup luas. Di Pangandaran, terdapat sebuah tradisi menangkap ikan laut dari tepi pantai dengan menggunakan jaring besar, atau disebut “jaring ered”.

Dari namanya “jaring” (alat penangkap ikan) dan “ered” berasal dari kata “seret” yaitu tarik maju (barang yang dihela bergeser di tanah atau di air), dalam hal ini metode penangkapan dengan menggeret. Jaring ered biasanya dilakukan dalam sebuah kelompok, biasanya sebanyak 10-11 orang nelayan. Di Pangandaran, hampir 90% nelayan jaring ered adalah perempuan. Nelayan perempuan jaring ered ini adalah kelompok rentan yang sering terlupakan. Faktanya mayoritas dari mereka tidak mendapatkan kartu nelayan, program pemerintah untuk kesejahteraan.

 

nelayan jaring ered pangandaran

 

Proses Penangkapan Ikan oleh Nelayan Jaring Ered di Pangandaran 

Kecanduan Plastik Yang Mengancam Laut dan Nelayan

Dalam perjalanan ini, saya berkesempatan melihat proses jaring ered dan berinteraksi dengan para nelayan perempuan. Ditemani oleh rekan-rekan Pandu Laut Nusantara, saya belajar bahwa tiga hal penting. Pertama, mayoritas nelayan perempuan bekerja sebagai buruh nelayan dimana mereka tidak memiliki alat sendiri melainkan bekerja untuk pemilik alat jaring dari pukul 08:00 - 17:00. Kedua, penghasilan mereka sangatlah minim, sekitar Rp30k-Rp40k (~$1.9 - $2.5) per hari, menyentuh garis kemiskinan $2.15/per hari yang ditetapkan World Bank. Ketiga, hasil tangkapan ikan mereka sekarang bukan hanya berkurang secara signifikan tapi juga bercampur plastik sekali pakai.

Ada kesedihan luar biasa dalam diri saya ketika melihat bagaimana sulitnya pekerjaan yang dilakukan oleh mereka dan hasil tangkapan yang sudah bercampur dengan plastik dari laut. Saya menyaksikan dengan jelas, kumpulan plastik dan kemasan sekali pakai yang mereka katakan mayoritas berasal dari wisatawan.  Plastik ini bukan hanya melukai biota laut tetapi juga hasil tangkapan nelayan. Dari hasil tangkapan ini, mereka harus memilah sampah tersebut dan hasil ikan laut yang mereka dapat. Biasanya ikan yang mereka dapat berupa ikan-ikan kecil yang kemudian mereka jual ke pasar dan tempat pelelangan ikan. Namun setiap harinya, semakin sedikit hasil tangkapan ikan dan semakin banyak plastik yang didapatkan. Realitas ini mengingatkan saya pada film Pulau Plastik yang rekan-rekan saya ciptakan untuk meningkatkan kepedulian kita mengenai isu lingkungan. 

 

sampah plastik di laut nelayan pangandaran
Gambaran sampah plastik yang bercampur dengan hasil tangkapan ikan 

 

Menghargai Laut dan Kesejahteraan Perempuan

Pada jam makan siang, saya dan rekan saya di Perfect Fit, Domi, berkesempatan berdiskusi mengenai kesehatan perempuan dengan 12 nelayan perempuan jaring ered. Saat kami menyebut kata menstruasi, respon dari mereka bercampur tawa, malu, dan diam. Kemudian, saya mengeluarkan pembalut kain Perfect Fit dari sakut saya, kemudia situasi semakin cair. Satu persatu nelayan perempuan bercerita mengalami pengalaman menstruasinya. Pembalut kain yang kami bawa mengingatkan mereka dengan pengalaman tahun-tahun menstruasi pertama, ketika mereka menggunakan handuk dan kain perca untuk menstruasinya. Cerita dilanjutkan dengan edukasi dan produk yang diajarkan oleh orangtua dan nenek moyang mereka. Kemudian, beberapa perempuan membagikan cerita ketika mereka mulai berganti menggunakan “pembalut toko” atau pembalut sekali pakai yang ada dipasaran. Ada satu nelayan perempuan yang mengatakan sulit untuk menggunakan diawal karena lem pengeratnya tidak bisa terpasang dengan benar. Ada nelayan lain yang menceritakan iritasi dan gatal yang didapatkan ketika memakai produk tersebut. 

Berfoto dengan para nelayan perempuan setelah edukasi 
Sontak mayortias dari mereka sangat antusias ketika mereka melihat pembalut kain cuci ulang yang dibawakan. Pada kesempatan kali ini, kami juga membagikan edukasi mengenai mitos dan fakta menstruasi di masyarakat, pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, merawat kebersihan ketika menstruasi, serta menjaga laut kita dari kerusakan lingkungan, termasuk akibat penggunanaan plastik sekali pakai. Menariknya, karena rekan saya Domi adalah laki-laki, maka banyak bapak-bapak nelayan yang juga ikut tertarik untuk menyaksikan dan mendapatkan edukasi tersebut. Harapan saya, edukasi dan produk ini bukan hanya membantu memecah kebisuan menstruasi tetapi juga sebagai inspirasi cara kami untuk menghargai ibu (perempuan) dan ibu bumi (laut). Perjalanan kali ini memberikan pelajaran dan inspirasi yang besar bagi saya untuk terus melaju bersama perempuan-perempuan sekarang dan masa depan untuk membangun dunia yang lebih adil, lestari dan ramah terhadap seluruh masyarakat, khususnya perempuan. 

0 comments

Leave a comment

Please note, comments must be approved before they are published